Jumat, 09 November 2012

Kolintang

Kolintang merupakan alat musik khas dari Minahasa, Sulawesi Utara,  Indonesia.
Kolintang terbuat dari bahan dasar kayu. Bila dipukul kolintang dapat mengeluarkan bunyi yang rentang suara yang panjang, dapat mencapai nada-nada tinggi(high pitch note) maupun rendah (low pitch note).




Kolintang terbuat dari bahan dasar kayu, seperti kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar). Bila dipukul kolintang dapat mengeluarkan bunyi yang rentang suara yang panjang, dapat mencapai nada-nada tinggi(high pitch note) maupun rendah (low pitch note).

Kata Kolintang berasal dari bunyi : Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi) dan Tang (nada tengah). Dahulu Dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang: "Mari kita ber Tong Ting Tang" dengan ungkapan "Maimo Kumolintang" dan dari kebiasaan itulah muncul nama "KOLINTANG” untuk alat yang digunakan bermain

Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas kedua kaki pemainnya dengan posisi duduk di tanah, dengan kedua kaki terbujur lurus kedepan. Dengan berjalannya waktu kedua kaki pemain diganti dengan dua batang pisang, atau kadang-kadang diganti dengan tali seperti arumba dari Jawa Barat. Sedangkan penggunaan peti sesonator dimulai sejak Pangeran Diponegoro berada di Minahasa (th.1830). Pada saat itu, konon peralatan gamelan dan gambang ikut dibawa oleh rombongannya.

Adapun pemakaian kolintang erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional rakyat Minahasa, seperti dalam upacara-upacara ritual sehubungan dengan pemujaan arwah para leluhur. Itulah sebabnya dengan masuknya agama kristen di Minahasa, eksistensi kolintang demikian terdesak bahkan hampir menghilang sama sekali selama ± 100th.

Pasca perang dunia II barulah kolintang mulai berkembang ke arah alat musik universal, dipelopori oleh Nelwan Katuuk. Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai 3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci (Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F s/d C. Dan pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan. Saat ini Kolintang yang dibuat sudah mencapai 6 (enam) oktaf dengan chromatisch penuh .

Penamaan alat-alat musik kolintang sebenarnya belum ada standarnya, namun untuk keperluan tulisan ini, saya memakai konsep pembagian nama alat oleh Petrus Kaseke (berdasarkan karakteristik suara dan rentang nada) yakni :

·  Melody sebagai penentu lagu. Biasa juga disebut Ina taweng.
·  Alto sebagai pengiring (accompanion) bernada tinggi. Biasa disebut Uner atau Katelu (alto 3).
·  Tenor sebagai pengiring (accompanion) bernada rendah. Biasa disebut Karua.
·  Cello sebagai penentu irama dan gabungan accompanion dengan bass.  Biasa disebut sella.
·  Bass sebagai penghasil nada nada rendah. Biasa di sebut loway.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar