Jika Timur Tengah merupakan negara yang terkenal dengan permadani, namun Indonesia tidak mau kalah saing dengan negara tersebut. Indonesia juga memiliki kerajinan yang memiliki fungsi sama dengan permadani, yaitu tikar pandan.
Tikar pandan tidak hanya berfungsi sebagai alas untuk duduk saja, tetapi juga memiliki sentuhan etnik dan menghadirkan nuansa tradisional. Namun sangat disayangkan tikar pandan kini sudah jarang kita temui. Hal ini disebabkan karena masyarakat sudah banyak yang menggunakan permadani.
Meskipun kerajinan ini sudah jarang kita temui di Jakarta, kerajinan ini masih bisa kita temui di daerah Jawa, salah satunya di kab. Mojokerto, Jawa Timur.
Sebuah desa yang bernama Desa Jolotundo terletak di Kecamatan Jetis Kab.Mojokerto menyimpan sebuah budaya terampil yang patut untuk diperhatikan. Kerajinan tikar pandan, demikian budaya terampil tersebut dikenal oleh kalangan masyarakat di desa itu. Desa yang memiliki 7 dusun ini dengan sekitar 2.400 jiwa penduduknya banyak yang berprofesi sebagai pembuat tikar pandan, setidak nya terdapat sekitar 400 orang pengrajin yang mayoritas mereka adalah ibu rumah tangga.
Bukan perkara susah cari pekerjaan lainnya, tapi karena faktor peduli terhadap lingkungan akibat banyaknya tumbuh tanaman pandan berduri di desa tersebut sehingga sebagian besar ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai petani memanfaatkan waktu luangnya untuk membuat tikar pandan. Keahlian membuat tikar pandan ini telah ada sejak puluhan tahun silam dan dimiliki secara turun-temurun oleh warga di sana. Setidaknya, setiap hari para ibu rumah tangga melalui pekerjaan sambilan ini dapat menambah pendapatan bagi keluarga mereka Rp 20.000,- sampai dengan Rp 30.000,-.
Proses produksinya cukup sederhana. Daun pandan berduri yang cukup dewasa dengan lebar sekitar 5-7 cm di potong. Kemudian dengan sisir khusus, duri-duri pada daun tersebut disisir sehingga rontok. Daun yang bebas duri kemudian dijemur 3-5 hari sesuai kondisi matahari hingga cukup mengering. Kemudian daun tersebut di press agar menjadi tipis dan lemas dan dilanjutkan dengan dijemur beberapa jam. Daun pun siap dianyam.
Proses penganyaman pada dasarnya masih cukup sederhana, tapi untuk dapat menghasilkan 1 lembar tikar ukuran 120 x 200 cm dalam waktu sehari tentunya memerlukan kemampuan cekatan yang tinggi. Setelah berhasil dianyam, lembaran-lembaran tersebut di tumpuk 2-3 lapisan untuk kemudian dipotong sesuai bentuk ukuran tikar dan dijahit pada sisi-sisinya. Rata-rata para ibu rumah tangga di sana dapat membuat 1-2 tikar dalam sehari tergantung pada ukuran tikar yang dibuat. Tikar anyaman tersebut dijual kepada pengepul dengan harga Rp 20.000,- sampai dengan Rp 60.000,- tergantung pada ukuran dan ketebalan/jumlah lapisan tikar.
Karena bahan baku tikar tersebut yang sangat alamiah menjadikan tikar ini menjadi unik. Tikar lampit akan terasa dingin jika digunakan pada saat hawa panas dan sebaliknya terasa hangat jika berada di hawa yang dingin.
Tikar pandan dan lampit merupakan kerajinan tangan yang memiliki nilai budaya yang sangat tinggi yang harus tetep dilestarikan keberadaannya karena selain ciri khas bangsa ini tikar ini memiliki harga yang cukup terjangkau dibandingkan dengan permadani